Sedangkan pandangan yang kedua ditawarkan oleh kalangan ulama ahlu al-sunnah wa al-jama'ah. Al-Imam Al-Nawawi menyatakan:
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ.
“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Menfungsikan lafadz كل sebagai lafadz ‘amm yang bukan makhshush, akan menjadikan ruang gerak kaum muslimin sangat sempit dan akan selalu berhadapan dengan kesulitan yang cukup luar biasa. Padahal, sifat dasar dari agama ini adalah yusrun dan rahmatan li al-alamin. Pikiran kritis ini harus dimajukan karena memang memungkinkan untuk menganggap lafadz كل yang termasuk dalam kategori lafadz ’amm sebagai 'amm yang makhshush. Realitas semacam ini sangat banyak kita temukan di dalam al-qur’an, diantaranya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا( الكهف : 79)
Ayat di atas menceritakan tentang perilaku nabi Hidlir yang merusak perahu yang ditumpanginya dan kemudian diprotes oleh nabi Musa. Nabi Hidlir memberikan penjelasan bahwa beliau melakukan hal itu lebih disebabkan karena ada raja yang selalu mengambil perahu secara paksa.
Kalau seandainya lafadz كل yang ada di dalam ayat di atas diartikan sesuai dengan kedudukannya sebagai lafadz ‘amm - sehingga meliputi seluruh perahu- , baik yang bagus maupun yang jelek, maka tindakan yang dilakukan oleh nabi Hidlir adalah merupakan tindakan yang sia-sia, karena meskipun perahunya dirusak, maka raja yang ada di belakangnya tetap akan merampas. Logika ini pada akhirnya mengantarkan kita bahwa yang dimaksud dengan lafadz كل dalam ayat di atas adalah makhshush. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain untuk lafadz ‘amm yang makhshush.
Menjadikan klasifikasi bid’ah menjadi dua yaitu sayyi’ah dan hasanah juga didukung oleh hadits-hadits yang lain, diantaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ يَعْنِي ابْنَ صُبَيْحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَأَ النَّاسُ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ وَقَالَ مَرَّةً حَتَّى بَانَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ فَأَعْطَاهَا إِيَّاهُ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فَأَعْطَوْا حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ السُّرُورُ فَقَالَ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ قَالَ مَرَّةً يَعْنِي أَبَا مُعَاوِيَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
Kelompok yang menentang terhadap pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah masih beranggapan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk klasifikasi bid’ah menjadi sayyi’ah dan hasanah, karena lafadz yang digunakan oleh hadits adalah من سن bukan من ابتدع dan lafadz سن tidak dapat diterjemahkan dengan lafadz ابتدع .
pertanyaan selanjutnya yang perlu kita majukan adalah apakah memang demikian ? Ada beberapa penjelasan dan pandangan ulama yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan masalah ini diantaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ و حَدَّثَنَاه عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِ جَرِيرٍ وَعِيسَى بْنِ يُونُسَ لِأَنَّهُ سَنَّ الْقَتْلَ لَمْ يَذْكُرَا أَوَّلَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى اِبْن آدَم الْأَوَّل كِفْلٌ مِنْهَا ؛ لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّل مَنْ سَنَّ الْقَتْل ) ، ( الْكِفْل ) : بِكَسْرِ الْكَاف : الْجُزْء وَالنَّصِيب ، وَقَالَ الْخَلِيل : هُوَ الضِّعْف .وَهَذَا الْحَدِيث مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ : أَنَّ كُلّ مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الشَّرّ كَانَ عَلَيْهِ مِثْل وِزْر كُلّ مَنْ اِقْتَدَى بِهِ فِي ذَلِكَ الْعَمَل مِثْل عَمَله إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَمِثْله مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْخَيْر كَانَ لَهُ مِثْل أَجْر كُلّ مَنْ يَعْمَل بِهِ إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَهُوَ مُوَافِق لِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَنْ سَنَّ سُنَّة حَسَنَة وَمَنْ سَنَّ سُنَّة سَيِّئَة " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح " مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْر فَلَهُ مِثْل أَجْر فَاعِله " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى هُدًى وَمَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى ضَلَالَة " . وَاللَّهُ أَعْلَم . ( شرح النووي على مسلم : ج 6: 88)
Hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan diberi syarah oleh Imam Nawawi menegaskan secara kongrit bahwa lafadz سن sangat memungkinkan untuk diterjemahkan dengan lafadz ابتدع dan terjemahan yang benar memang demikian, sehingga tidak ada alasan untuk menolak hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas sebagai dasar bahwa klasifikasi bid’ah memang ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah.
Hadits lain yang patut dipertimbangkan bahwa klasifikasi bid’ah ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ اعْلَمْ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اعْلَمْ يَا بِلَالُ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ هُوَ مَصِّيصِيٌّ شَامِيٌّ وَكَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy yang menurut Abu Isa di dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy juz : 6 / 476 berkwalitas hasan, secara jelas kita lihat bahwa lafadz بدعة oleh nabi tidak diucapkan secara mutlak, akan tetapi diucapkan dengan menggunakan qayyid. Hal ini bisa disimpulkan bahwa bid’ah memang ada dua; bid’ah yang dlalalah dan bid’ah yang tidak dlalalah atau dalam bahasa yang umum bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.
Karena adanya dalil tentang masalah ini yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad, maka memungkinkan untuk membawa dalil yang menyebutkan bid’ah secara mutlak- sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas- untuk dibawa dan ditafsiri dengan dalil yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad. Metode semacam ini dalam istilah ushul fiqh terkenal dengan sebutan “hamlu al-mutlaq ‘ala al-muqayyad” Karena analisis di atas, maka tidak heran apabila jumhur al-ulama membagi bid’ah menjadi dua; yaitu bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.
Memperhatikan data, argumentasi dan realitas yang terjadi, pembagian bid'ah merupakan sebuah keniscayaan. Apabila ini tidak dilakukan, maka kelompok manapun akan sulit mencari benang merah terhadap kreasi al-thariqah fi al-din yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi berikutnya. Karena demikian, maka pada akhirnya semua melakukan pembagian bid'ah meskipun dengan nama yang berbeda, akan tetapi substansinya sama.
Banyak pembagian bid'ah yang ditawarkan oleh ulama dari berbagai madzhab yang kesimpulannya adalah :
1) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah syar'iyah, yaitu bid'ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti menambahi syari'at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu ushul al-bida' : 95)
b. bid'ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid'ah, akan tetapi substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama.
2) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah diniyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan permasalahan agama.
b. bid'ah dunyawiyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)
3) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah haqiqiyah, yaitu bid'ah yang tidak didukung oleh dalil.
b. bid'ah idlafiyah, yaitu bid'ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung oleh dalil, akan tetapi dari sisi yang lain tidak didukung oleh dalil.
4) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah hasanah
b. bid'ah sayyi'ah
Pembagian bid'ah dari yang pertama sampai yang ketiga kurang biasa kita b dengar karena pembagian ini memang sering kali ditawarkan oleh kelompok wahabi dan yang semadzhab. Sedangkan pembagian yang keempat adalah pembagian yang cukup familiar di telinga kita karena memang ditawarkan oleh jumhur ulama yang menjadi panutan kita.
Tentang pembagian ini ada kesimpulan menarik yang ditawarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki yang berbunyi :
ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث ، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة ، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الاجتماع قريب وموطن النزاع بعيد . وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية ، واعتبارهم ذلك ضرورة . وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة ، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي
"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan tertolak.
Seandainya mereka yang ingkar memahami hal ini, maka akan tampak bagi mereka bahwa ruang dan kesempatan untuk bersatu menjadi dekat dan terbuka dan peluang untuk perselisihan menjadi jauh"… (nambah komentar dalam rangka mendekatkan diantara pemahaman yang berkembang) saya berpandangan bahwa kelompok yang mengingkari pembagian bid'ah hanyalah hanyalah dalam konteks pembagian bid'ah syar'iyah dengan bukti mereka terpaksa membagi bid'ah menjadi diniyah dan dunyawiyah.
Kelompok yang membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah tidak lain diarahkan untuk bid'ah lughawiyah karena mereka berpandangan bahwa menambah agama dan syariat merupakan kesesatan dan kejelekan yang besar. Karena demikian tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat yang terjadi hanya pada permasalahan kulit, bukan substansi"
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ.
“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Menfungsikan lafadz كل sebagai lafadz ‘amm yang bukan makhshush, akan menjadikan ruang gerak kaum muslimin sangat sempit dan akan selalu berhadapan dengan kesulitan yang cukup luar biasa. Padahal, sifat dasar dari agama ini adalah yusrun dan rahmatan li al-alamin. Pikiran kritis ini harus dimajukan karena memang memungkinkan untuk menganggap lafadz كل yang termasuk dalam kategori lafadz ’amm sebagai 'amm yang makhshush. Realitas semacam ini sangat banyak kita temukan di dalam al-qur’an, diantaranya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا( الكهف : 79)
Ayat di atas menceritakan tentang perilaku nabi Hidlir yang merusak perahu yang ditumpanginya dan kemudian diprotes oleh nabi Musa. Nabi Hidlir memberikan penjelasan bahwa beliau melakukan hal itu lebih disebabkan karena ada raja yang selalu mengambil perahu secara paksa.
Kalau seandainya lafadz كل yang ada di dalam ayat di atas diartikan sesuai dengan kedudukannya sebagai lafadz ‘amm - sehingga meliputi seluruh perahu- , baik yang bagus maupun yang jelek, maka tindakan yang dilakukan oleh nabi Hidlir adalah merupakan tindakan yang sia-sia, karena meskipun perahunya dirusak, maka raja yang ada di belakangnya tetap akan merampas. Logika ini pada akhirnya mengantarkan kita bahwa yang dimaksud dengan lafadz كل dalam ayat di atas adalah makhshush. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain untuk lafadz ‘amm yang makhshush.
Menjadikan klasifikasi bid’ah menjadi dua yaitu sayyi’ah dan hasanah juga didukung oleh hadits-hadits yang lain, diantaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ يَعْنِي ابْنَ صُبَيْحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَأَ النَّاسُ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ وَقَالَ مَرَّةً حَتَّى بَانَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ فَأَعْطَاهَا إِيَّاهُ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فَأَعْطَوْا حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ السُّرُورُ فَقَالَ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ قَالَ مَرَّةً يَعْنِي أَبَا مُعَاوِيَةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
Kelompok yang menentang terhadap pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah masih beranggapan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk klasifikasi bid’ah menjadi sayyi’ah dan hasanah, karena lafadz yang digunakan oleh hadits adalah من سن bukan من ابتدع dan lafadz سن tidak dapat diterjemahkan dengan lafadz ابتدع .
pertanyaan selanjutnya yang perlu kita majukan adalah apakah memang demikian ? Ada beberapa penjelasan dan pandangan ulama yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan masalah ini diantaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ و حَدَّثَنَاه عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِ جَرِيرٍ وَعِيسَى بْنِ يُونُسَ لِأَنَّهُ سَنَّ الْقَتْلَ لَمْ يَذْكُرَا أَوَّلَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى اِبْن آدَم الْأَوَّل كِفْلٌ مِنْهَا ؛ لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّل مَنْ سَنَّ الْقَتْل ) ، ( الْكِفْل ) : بِكَسْرِ الْكَاف : الْجُزْء وَالنَّصِيب ، وَقَالَ الْخَلِيل : هُوَ الضِّعْف .وَهَذَا الْحَدِيث مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ : أَنَّ كُلّ مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الشَّرّ كَانَ عَلَيْهِ مِثْل وِزْر كُلّ مَنْ اِقْتَدَى بِهِ فِي ذَلِكَ الْعَمَل مِثْل عَمَله إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَمِثْله مَنْ اِبْتَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْخَيْر كَانَ لَهُ مِثْل أَجْر كُلّ مَنْ يَعْمَل بِهِ إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَهُوَ مُوَافِق لِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَنْ سَنَّ سُنَّة حَسَنَة وَمَنْ سَنَّ سُنَّة سَيِّئَة " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح " مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْر فَلَهُ مِثْل أَجْر فَاعِله " وَلِلْحَدِيثِ الصَّحِيح : " مَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى هُدًى وَمَا مِنْ دَاعٍ يَدْعُو إِلَى ضَلَالَة " . وَاللَّهُ أَعْلَم . ( شرح النووي على مسلم : ج 6: 88)
Hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan diberi syarah oleh Imam Nawawi menegaskan secara kongrit bahwa lafadz سن sangat memungkinkan untuk diterjemahkan dengan lafadz ابتدع dan terjemahan yang benar memang demikian, sehingga tidak ada alasan untuk menolak hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas sebagai dasar bahwa klasifikasi bid’ah memang ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah.
Hadits lain yang patut dipertimbangkan bahwa klasifikasi bid’ah ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ اعْلَمْ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اعْلَمْ يَا بِلَالُ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ هُوَ مَصِّيصِيٌّ شَامِيٌّ وَكَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy yang menurut Abu Isa di dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy juz : 6 / 476 berkwalitas hasan, secara jelas kita lihat bahwa lafadz بدعة oleh nabi tidak diucapkan secara mutlak, akan tetapi diucapkan dengan menggunakan qayyid. Hal ini bisa disimpulkan bahwa bid’ah memang ada dua; bid’ah yang dlalalah dan bid’ah yang tidak dlalalah atau dalam bahasa yang umum bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.
Karena adanya dalil tentang masalah ini yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad, maka memungkinkan untuk membawa dalil yang menyebutkan bid’ah secara mutlak- sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas- untuk dibawa dan ditafsiri dengan dalil yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad. Metode semacam ini dalam istilah ushul fiqh terkenal dengan sebutan “hamlu al-mutlaq ‘ala al-muqayyad” Karena analisis di atas, maka tidak heran apabila jumhur al-ulama membagi bid’ah menjadi dua; yaitu bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.
Memperhatikan data, argumentasi dan realitas yang terjadi, pembagian bid'ah merupakan sebuah keniscayaan. Apabila ini tidak dilakukan, maka kelompok manapun akan sulit mencari benang merah terhadap kreasi al-thariqah fi al-din yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi berikutnya. Karena demikian, maka pada akhirnya semua melakukan pembagian bid'ah meskipun dengan nama yang berbeda, akan tetapi substansinya sama.
Banyak pembagian bid'ah yang ditawarkan oleh ulama dari berbagai madzhab yang kesimpulannya adalah :
1) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah syar'iyah, yaitu bid'ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti menambahi syari'at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu ushul al-bida' : 95)
b. bid'ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid'ah, akan tetapi substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama.
2) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah diniyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan permasalahan agama.
b. bid'ah dunyawiyah, yaitu bid'ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)
3) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah haqiqiyah, yaitu bid'ah yang tidak didukung oleh dalil.
b. bid'ah idlafiyah, yaitu bid'ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung oleh dalil, akan tetapi dari sisi yang lain tidak didukung oleh dalil.
4) bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid'ah hasanah
b. bid'ah sayyi'ah
Pembagian bid'ah dari yang pertama sampai yang ketiga kurang biasa kita b dengar karena pembagian ini memang sering kali ditawarkan oleh kelompok wahabi dan yang semadzhab. Sedangkan pembagian yang keempat adalah pembagian yang cukup familiar di telinga kita karena memang ditawarkan oleh jumhur ulama yang menjadi panutan kita.
Tentang pembagian ini ada kesimpulan menarik yang ditawarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki yang berbunyi :
ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث ، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة ، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الاجتماع قريب وموطن النزاع بعيد . وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية ، واعتبارهم ذلك ضرورة . وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة ، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي
"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan tertolak.
Seandainya mereka yang ingkar memahami hal ini, maka akan tampak bagi mereka bahwa ruang dan kesempatan untuk bersatu menjadi dekat dan terbuka dan peluang untuk perselisihan menjadi jauh"… (nambah komentar dalam rangka mendekatkan diantara pemahaman yang berkembang) saya berpandangan bahwa kelompok yang mengingkari pembagian bid'ah hanyalah hanyalah dalam konteks pembagian bid'ah syar'iyah dengan bukti mereka terpaksa membagi bid'ah menjadi diniyah dan dunyawiyah.
Kelompok yang membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah tidak lain diarahkan untuk bid'ah lughawiyah karena mereka berpandangan bahwa menambah agama dan syariat merupakan kesesatan dan kejelekan yang besar. Karena demikian tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat yang terjadi hanya pada permasalahan kulit, bukan substansi"
No comments:
Post a Comment