Iftitah
Entah apa yang menjadi penyebabnya, yang jelas akhir-akhir ini terdapat kelompok di kalangan kaum muslimin yang memiliki kegemaran mengkafirkan, mensyirikkan, membid'ahkan dan menyesatkan sesama muslim yang lain. Kelompok ini beranggapan bahwa pemahaman Islam yang paling murni dan paling benar adalah pemahaman mereka, sedangkan pemahaman kelompok yang lain adalah keliru, sesat dan menyimpang dari ajaran yang sebenarnya.
Energi kaum muslimin banyak terkuras dan bisa jadi habis gara-gara masalah ini, padahal masih terlalu banyak yang bisa dipikirkan dan diperbuat untuk kepentingan izzul Islam wa al-muslimin. Harus diakui bahwa sampai saat ini mayoritas kaum muslimin masih hidup dalam kondisi " fakir", baik dari sisi ekonomi, maupun dari sisi keilmuan. Memikirkan dan menuntaskan permasalah ini dengan "kebersamaan" jauh lebih bermanfaat untuk kepentingan Islam dibandingkan dengan "mengembangkan hobi" menyesatkan kelompok Islam yang lain, karena kefakiran dapat menjerumuskan seseorang kepada kekafiran.
Hal ini bukan berarti permasalahan bid'ah, syirik, kafir dan lain sebagainya tidak penting. Wacana ini tetap penting, Akan tetapi, harus ditempatkan pada kerangka permasalahan yang "furu'iyah" dan "mukhtalaf fih". Maksudnya, masing-masing kelompok memiliki argumentasi dan oleh sebab itu tidak diperlukan sifat saling menyalahkan, apalagi saling menyesatkan. Bukankah kaidah fiqh mengatakan : la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru al-mujma'u alaihi.
Perbedaan pendapat tentang permasalahan agama sangat mudah dirunut dan diklarifikasi, karena semua proses ijtihad yang dilakukan oleh siapapun harus sesuai dengan logika dan kaidah ijtihad yang sudah disepakati bersama.
Seputar permasalahan bid'ah
Untuk memperjelas permasalahan bid'ah, maka perlu ditegaskan terlebih dahulu definisi bid'ah, kemudian dilanjutkan dengan pembagian dan permasalahan lain yang biasa diperbincangkan seputar bid'ah. Hal ini perlu dilakukan agar masing-masing kelompok yang berselisih memiliki konsep dan kriteria yang sama tentang permasalahan yang sedang diperselisihkan.
Harus diakui bahwa definisi bid'ah merupakan sesuatu yang tidak pernah ditegaskan oleh rasulullah SAW. Rasulullah di dalam haditsnya hanya menyebutkan lafadz bid'ah dan tidak pernah menjelaskan sama sekali apa yang dimaksud dengan lafadz tersebut dan apa pula kriterianya. Hal ini penting untuk ditegaskan terlebih dahulu, karena dengan demikian tidak boleh ada kelompok yang merasa paling benar, apalagi sampai menyesatkan kelompok yang lain, hanya gara-gara masalah bid'ah yang bersifat mukhtalaf fih.
Hadits nabi yang di dalamnya terdapat lafadz bid'ah diantaranya adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضَََُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Jadi, tentang apa yang dimaksud dengan bid'ah tidak ada panduan dari nabi, sehingga masing-masing kelompok memiliki pandangan sendiri-sendiri dan sampai sekarang nampaknya masih sulit untuk dipertemukan. Merupakan perbuatan atau tindakan yang sangat naïf, gegabah dan sembrono ketika seseorang menyesatkan, mengkafirkan sesama muslim yang lain hanya didasarkan kepada dugaan yang belum pasti kebenarannya, Lebih-lebih apabila kelompok yang dituduh sesat juga memiliki dasar argumentasi yang kuat.
Kelompok wahabi dan yang semadzhab dengannya mengidolakan definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi (seorang tokoh ulama dari kalangan malikiyah yang berpendapat bahwa semua bid'ah dalam urusan agama adalah sesat) dan menganggapnya sebagai definisi yang paling jami' dan mani' (ilmu ushul al-bida' : 24). Tentu saja pilihan dan penilaian mereka terhadap definisi Syatibi sebagai yang paling jami' dan mani' sangat tendensius, tidak memiliki parameter yang jelas dan dipengaruhi kepentingan mereka.
Setiap definisi yang ditawarkan oleh ulama, meskipun tingkat kepakarannya tidak diragukan lagi selalu saja ditolak atau ditafsiri lain oleh kalangan wahabi dan dianggap kurang jami' dan mani'. Ada dua definisi tentang bid'ah yang ditawarkan oleh Imam Syatibi yaitu :
فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
"bid'ah merupakan ungkapan untuk sebuah jalan/metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada) dan menyerupai syari'ah. Tujuan melakukannya dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah"
البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية
"bid'ah adalah jalan/metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada). Tujuan melakukannya sama seperti tujuan melakukan jalan/metode syariat"
Dari definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi di atas, ada beberapa hal yang menjadi persyaratan sebuah perilaku seseorang atau kelompok dikatakatan sebagai perbuatan bid'ah, yaitu :
1. merupakan "al-thariqah fi al-din" (jalan/metode di dalam agama)
2. harus mukhtara'ah (merupakan kreasi baru)
3. harus tudlahy al-syar'iyah (menyerupai syariah)
4. bertujuan (mubalaghah) berlebih-lebihan dalam beribadah
5. tujuan melakukannya sama dengan tujuan melakukan syari'at
Definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi ini, meskipun dianggap definisi yang paling komprehensip menurut kalangan wahabi, akan tetapi dari sisi aplikasi akan terlihat kelemahannya, sehingga menjadi sulit untuk diterapkan. Dikatakan sulit untuk diterapkan, karena dengan definisi ini terpaksa kita harus berani menganggap para sahabat nabi (Umar dalam kasus shalat tarawih dan bacaan talbiyah, Ustman dalam kasus adzan Jum'at dua kali dan banyak sahabat nabi yang lain yang melakukan kreasi dalam bidang keagamaan) sebagai mubtadi'in (orang-orang yang ahli bid'ah yang sesat dan calon penghuni neraka).
Menyadari definisi ini memiliki kelemahan, pada akhirnya mereka terpaksa melakukan taqsimul bid'ah, sehingga terpaksa juga pada akhirnya mereka mengakui –meskipun tidak terus terang- bahwa lafadz كل yang terdapat di dalam hadits di atas adalah lafadz 'Amm yang urida bihi al-khusus
Sebagai bandingan dari definisi yang biasa dijadikan sebagai pegangan oleh kalangan wahabi di atas, perlu juga ditampilkan definisi yang ditawarkan oleh ulama yang lain yang biasa kita jadikan sebagai pegangan . Diantaranya adalah :
Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i. beliau mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam sebagai berikut:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah ”. (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/172).
Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarah Al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i, dan karya-karyanya menjadi kajian dunia Islam seperti Syarh Shahih Muslim, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Riyadh Al-Shalihin dan lain-lain. Beliau mendefinisikan bid’ah segai berikut:
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah ”. (Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, ).
Pembagian bid'ah
Taqsim al-bid'ah atau pembagian bid'ah merupakan wacana yang sensitive dan banyak menyita perhatian, karena sampai saat ini ternyata kaum muslimin belum satu suara. Maksudnya, ada kelompok yang berpendapat bahwa semua bid'ah adalah sesat dan tidak terkecuali; sementara ada kelompok lain yang berpendapat bahwa tidak semua bid'ah adalah sesat; ada yang hasanah, ada yang sayyi'ah.
Sumber perbedaan pendapat tentang masalah ini, ternyata bermuara pada penafsiran hadits di atas, khususnya menyangkut matan hadits yang berbunyi :
وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Di dalam teori ilmu ushul fiqh, kita mengetahui bahwa lafadz كل merupakan salah satu bentuk lafadz 'am. Permasalahannya kemudian adalah apakah lafadz كل yang ada di dalam hadits harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz, atau dianggap sebagai lafadz 'am, akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus. Satu kelompok berpandangan bahwa lafadz كل harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz; sedangkan kelompok lain berpendangan bahwa lafadz كل di dalam hadits adalah lafadz yang umum, akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus (عام اريد به الخصوص )
Pandangan pertama biasa ditawarkan oleh kelompok wahabi dan madzhab yang sejenis, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah satu ulama mereka yang berbunyi :
قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) كُلِّيَّةٌ، عَامَّةٌ، شَامِلَةٌ، مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ، أَوْ إِلَى أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًا هَذَا لاَ يَصِحُّ. (محمد بن صالح العثيمين، الإِبْدَاع في كَمَال الشَّرْع وخَطَرِ الابتداع، ص/13).
“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “كل (semua)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal. 13)
Entah apa yang menjadi penyebabnya, yang jelas akhir-akhir ini terdapat kelompok di kalangan kaum muslimin yang memiliki kegemaran mengkafirkan, mensyirikkan, membid'ahkan dan menyesatkan sesama muslim yang lain. Kelompok ini beranggapan bahwa pemahaman Islam yang paling murni dan paling benar adalah pemahaman mereka, sedangkan pemahaman kelompok yang lain adalah keliru, sesat dan menyimpang dari ajaran yang sebenarnya.
Energi kaum muslimin banyak terkuras dan bisa jadi habis gara-gara masalah ini, padahal masih terlalu banyak yang bisa dipikirkan dan diperbuat untuk kepentingan izzul Islam wa al-muslimin. Harus diakui bahwa sampai saat ini mayoritas kaum muslimin masih hidup dalam kondisi " fakir", baik dari sisi ekonomi, maupun dari sisi keilmuan. Memikirkan dan menuntaskan permasalah ini dengan "kebersamaan" jauh lebih bermanfaat untuk kepentingan Islam dibandingkan dengan "mengembangkan hobi" menyesatkan kelompok Islam yang lain, karena kefakiran dapat menjerumuskan seseorang kepada kekafiran.
Hal ini bukan berarti permasalahan bid'ah, syirik, kafir dan lain sebagainya tidak penting. Wacana ini tetap penting, Akan tetapi, harus ditempatkan pada kerangka permasalahan yang "furu'iyah" dan "mukhtalaf fih". Maksudnya, masing-masing kelompok memiliki argumentasi dan oleh sebab itu tidak diperlukan sifat saling menyalahkan, apalagi saling menyesatkan. Bukankah kaidah fiqh mengatakan : la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru al-mujma'u alaihi.
Perbedaan pendapat tentang permasalahan agama sangat mudah dirunut dan diklarifikasi, karena semua proses ijtihad yang dilakukan oleh siapapun harus sesuai dengan logika dan kaidah ijtihad yang sudah disepakati bersama.
Seputar permasalahan bid'ah
Untuk memperjelas permasalahan bid'ah, maka perlu ditegaskan terlebih dahulu definisi bid'ah, kemudian dilanjutkan dengan pembagian dan permasalahan lain yang biasa diperbincangkan seputar bid'ah. Hal ini perlu dilakukan agar masing-masing kelompok yang berselisih memiliki konsep dan kriteria yang sama tentang permasalahan yang sedang diperselisihkan.
Harus diakui bahwa definisi bid'ah merupakan sesuatu yang tidak pernah ditegaskan oleh rasulullah SAW. Rasulullah di dalam haditsnya hanya menyebutkan lafadz bid'ah dan tidak pernah menjelaskan sama sekali apa yang dimaksud dengan lafadz tersebut dan apa pula kriterianya. Hal ini penting untuk ditegaskan terlebih dahulu, karena dengan demikian tidak boleh ada kelompok yang merasa paling benar, apalagi sampai menyesatkan kelompok yang lain, hanya gara-gara masalah bid'ah yang bersifat mukhtalaf fih.
Hadits nabi yang di dalamnya terdapat lafadz bid'ah diantaranya adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضَََُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Jadi, tentang apa yang dimaksud dengan bid'ah tidak ada panduan dari nabi, sehingga masing-masing kelompok memiliki pandangan sendiri-sendiri dan sampai sekarang nampaknya masih sulit untuk dipertemukan. Merupakan perbuatan atau tindakan yang sangat naïf, gegabah dan sembrono ketika seseorang menyesatkan, mengkafirkan sesama muslim yang lain hanya didasarkan kepada dugaan yang belum pasti kebenarannya, Lebih-lebih apabila kelompok yang dituduh sesat juga memiliki dasar argumentasi yang kuat.
Kelompok wahabi dan yang semadzhab dengannya mengidolakan definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi (seorang tokoh ulama dari kalangan malikiyah yang berpendapat bahwa semua bid'ah dalam urusan agama adalah sesat) dan menganggapnya sebagai definisi yang paling jami' dan mani' (ilmu ushul al-bida' : 24). Tentu saja pilihan dan penilaian mereka terhadap definisi Syatibi sebagai yang paling jami' dan mani' sangat tendensius, tidak memiliki parameter yang jelas dan dipengaruhi kepentingan mereka.
Setiap definisi yang ditawarkan oleh ulama, meskipun tingkat kepakarannya tidak diragukan lagi selalu saja ditolak atau ditafsiri lain oleh kalangan wahabi dan dianggap kurang jami' dan mani'. Ada dua definisi tentang bid'ah yang ditawarkan oleh Imam Syatibi yaitu :
فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
"bid'ah merupakan ungkapan untuk sebuah jalan/metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada) dan menyerupai syari'ah. Tujuan melakukannya dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah"
البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية
"bid'ah adalah jalan/metode di dalam agama yang merupakan kreasi baru (sebelumnya tidak ada). Tujuan melakukannya sama seperti tujuan melakukan jalan/metode syariat"
Dari definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi di atas, ada beberapa hal yang menjadi persyaratan sebuah perilaku seseorang atau kelompok dikatakatan sebagai perbuatan bid'ah, yaitu :
1. merupakan "al-thariqah fi al-din" (jalan/metode di dalam agama)
2. harus mukhtara'ah (merupakan kreasi baru)
3. harus tudlahy al-syar'iyah (menyerupai syariah)
4. bertujuan (mubalaghah) berlebih-lebihan dalam beribadah
5. tujuan melakukannya sama dengan tujuan melakukan syari'at
Definisi yang ditawarkan oleh Imam Syatibi ini, meskipun dianggap definisi yang paling komprehensip menurut kalangan wahabi, akan tetapi dari sisi aplikasi akan terlihat kelemahannya, sehingga menjadi sulit untuk diterapkan. Dikatakan sulit untuk diterapkan, karena dengan definisi ini terpaksa kita harus berani menganggap para sahabat nabi (Umar dalam kasus shalat tarawih dan bacaan talbiyah, Ustman dalam kasus adzan Jum'at dua kali dan banyak sahabat nabi yang lain yang melakukan kreasi dalam bidang keagamaan) sebagai mubtadi'in (orang-orang yang ahli bid'ah yang sesat dan calon penghuni neraka).
Menyadari definisi ini memiliki kelemahan, pada akhirnya mereka terpaksa melakukan taqsimul bid'ah, sehingga terpaksa juga pada akhirnya mereka mengakui –meskipun tidak terus terang- bahwa lafadz كل yang terdapat di dalam hadits di atas adalah lafadz 'Amm yang urida bihi al-khusus
Sebagai bandingan dari definisi yang biasa dijadikan sebagai pegangan oleh kalangan wahabi di atas, perlu juga ditampilkan definisi yang ditawarkan oleh ulama yang lain yang biasa kita jadikan sebagai pegangan . Diantaranya adalah :
Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i. beliau mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam sebagai berikut:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah ”. (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/172).
Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarah Al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i, dan karya-karyanya menjadi kajian dunia Islam seperti Syarh Shahih Muslim, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Riyadh Al-Shalihin dan lain-lain. Beliau mendefinisikan bid’ah segai berikut:
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah ”. (Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, ).
Pembagian bid'ah
Taqsim al-bid'ah atau pembagian bid'ah merupakan wacana yang sensitive dan banyak menyita perhatian, karena sampai saat ini ternyata kaum muslimin belum satu suara. Maksudnya, ada kelompok yang berpendapat bahwa semua bid'ah adalah sesat dan tidak terkecuali; sementara ada kelompok lain yang berpendapat bahwa tidak semua bid'ah adalah sesat; ada yang hasanah, ada yang sayyi'ah.
Sumber perbedaan pendapat tentang masalah ini, ternyata bermuara pada penafsiran hadits di atas, khususnya menyangkut matan hadits yang berbunyi :
وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Di dalam teori ilmu ushul fiqh, kita mengetahui bahwa lafadz كل merupakan salah satu bentuk lafadz 'am. Permasalahannya kemudian adalah apakah lafadz كل yang ada di dalam hadits harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz, atau dianggap sebagai lafadz 'am, akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus. Satu kelompok berpandangan bahwa lafadz كل harus diberlakukan sesuai dengan keumuman lafadz; sedangkan kelompok lain berpendangan bahwa lafadz كل di dalam hadits adalah lafadz yang umum, akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus (عام اريد به الخصوص )
Pandangan pertama biasa ditawarkan oleh kelompok wahabi dan madzhab yang sejenis, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah satu ulama mereka yang berbunyi :
قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) كُلِّيَّةٌ، عَامَّةٌ، شَامِلَةٌ، مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ، أَوْ إِلَى أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًا هَذَا لاَ يَصِحُّ. (محمد بن صالح العثيمين، الإِبْدَاع في كَمَال الشَّرْع وخَطَرِ الابتداع، ص/13).
“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “كل (semua)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal. 13)
No comments:
Post a Comment